Kopi Sachet Tidak Ada Filosofinya

, , 2 comments
 

Jadi kapan itu saya baca twit dari @PEMBIMBINGUTAMA yang isinya “KEPONAKAN SAYA SI ALVIN MAMPIR KERUMAH. BARU SEMINGGU MAGANG JADI BARISTA SAJA SUDAH SOK-SOK TIDAK MAU MINUM KOPI SACHET”. Kemudian dilanjutkan dengan “KATA SI ALVIN KOPI SACHET ITU TIDAK ADA FILOSOFINYA. LHO, ITU AIR PUTIH JUGA TIDAK ADA FILOSOFINYA TETAPI DIMINUM SETIAP HARI”. 

Twit ini terang mengundang reaksi netizen tak terkecuali si penulis buku Filososofi Kopi, Dewi Lestari. Pemilik akun dengan nama asli Bambang Widodo ini memang terkenal dengan twit-twitnya yang lugas dan apa adanya. Biasanya berkisar seputar aktivitas keseharian beliau dan tentu saja dengan ciri khas ditulis dengan huruf KAPITAL SEMUA. 

Jika kamu followers baru barangkali cukup terganggu dengan gaya tulisan beliau karena terkesan seperti orang marah-marah. Namun lama kelamaan nanti juga akan terbiasa kok, and trust me he really kind person. 


Dua hal menurut saya yg bikin lucu dari twit Pak Bambang. Lucu karena melihat perubahan sikap si Alvin yang cukup drastis dan bagaimana beliau menanggapi pernyataan ‘kontroversial’ keponakannya tersebut. 

Kopi itu memang minuman universal. Dia tidak mengenal gender dan bahkan umur (jika tidak bisa dibilang kopi adalah minuman segala usia). Namun kita tidak akan membahas bagaimana hampir seluruh penduduk dari berbagai penjuru belahan bumi memuja minuman ini. 

Disamping predikatnya sebagai minuman universal, kopi juga bisa dikatakan personal. Tiap-tiap orang memiliki cara masing-masing untuk menikmatinya. Ada yang suka dengan cara seduh manual, ada yg suka seduh otomatis, ada juga yang suka metode tubruk. 

Ada yang suka pakai susu, ada yang suka tanpa gula, ada yang hanya “pemburu” latte art, dan ada yang suka kopi instant (kopi sachet). Tidak ada yang salah dengan semua itu. Apapun kopinya, bagaimanapun cara menikmatinya setiap orang tetap disatukan dengan satu bahasa KOPI. 

Orang yang sudah sedikit naik level dengan menggiling bijih kopinya sendiri misalnya, tidak membuat dia lantas berhak “mengkafirkan” orang yang masih minum kopi sachetan. Apalagi dengan embel-embel quote “kopi itu digiling, bukan di sobek”. 

Namun sebagai penikmat kopi, secara personal tentu saja saya sudah mengurangi (baca:menghentikan) kebiasaan minum kopi instant. Bukan lantaran kopi instant tidak ada filosofinya atau minum kopi instant membuat saya merasa berada di kasta terbawah dari daftar golongan penikmat kopi. 

GULA. Iya, faktor gula alias pemanis buatannya lah yang membuat saya mundur perlahan dari kopi instant. Tapi kan banyak juga kopi instant yg memakai gula murni. Betul, sekarang ke bahan kopinya. Pernah baca nggak atau denger barangkali untuk membuat satu ton kopi bubuk instant pabrik hanya memerlukan SATU KILO bijih kopi. Sisanya, ya sudah pasti bahan-bahan perisa kimia lainnya. 

Terlepas dari betul tidaknya artikel tersebut, intinya saya hanya mencoba mengurangi ketergantungan dengan minuman bergula. Faktor umur juga sih sebenernya. Sudah setahun lebih saya menerapkannya, dan Alhamdulillah masih hidup hingga sekarang. 

Kembali ke pernyataan si Alvin tadi, yang mengatakan bahwa kopi instant tidak ada filosofinya (sungguh ini jenaka sekali jika saya mengingatnya). Ini seumpama orang yang baru beli kamera DSLR kemudian menganggap sebelah mata orang yang masih motret menggunakan kamera ponsel/pocket. Apakah mereka salah? Apakah mereka tidak berhak memotret? Apa memotret menggunakan ponsel lantas menghilangkan esensi dari kegiatan fotografi? 

Intinya saya rasa tidak ada yang salah dengan pencinta kopi. Mereka yang mementingkan aroma, tidak bisa membandingkan dengan yang hanya membutuhkan kafein dalam secangkir kopi. Keduanya punya alasan masing-masing untuk mencintai segelas kopi mereka. Dan mencintai itu juga terkadang mengalir tanpa membutuhkan alasan (Ya Allah apa ini…). 

Gambar Utama: majalah.ottencoffee.co.id

2 comments: