Belajar dari film The Secret Life of Walter Mitty (Part 1)

, , No Comments
Source: Google.com

















Mungkin beberapa dari kalian ada yang sudah pernah nonton film ini. Kebetulan The Secret Life of Walter Mitty adalah salah satu film favorit saya selain film Pearl Harbour yang tidak pernah bosan saya tonton berulang-ulang.

Ya, film yang dibintangi sekaligus disutradarai oleh Ben Stiller ini intinya menceritakan tentang kehidupan seorang Walter Mitty, kepala bagian aset negatif majalah Life (majalah tentang fotografi). 

Orang banjar biasa menyebutnya klisi/klise. Dulu merk yang paling populer adalah Fujifilm ASA 200 1 roll nya berisi 36 negatif film. Biasanya yang gambarnya keliatan setelah dicuci paling 25 lembar, sisanya kebakar semua ya Allah.. :(


Jika penulis lain lebih banyak menceritakan tentang bagaimana serunya petualangan Walter Mitty yang mencoba keluar dari ‘zona nyaman’ nya sebagai pekerja kantoran.

Seperti misalnya menumpang helikopter dengan pilot mabuk, bertarung dengan ikan hiu di tengah lautan, dikejar abu vulkanik erupsi gunung di Greenland, hingga mendaki gunung Himalaya hanya demi mencari sang fotografer (O’Connell) untuk menanyakan salah satu negatif yang hilang. Yang mana negatif yang hilang tersebut akan dijadikan cover terakhir majalah Life yang akan beralih ke format digital.

Di sini justru saya lebih tertarik pada karakter Ted Hendricks (Adam Scott) sang manager muda yang baru bergabung untuk memimpin perusahaan dalam proses transisi dari format cetak ke digital.

Seperti yang kita tau, seiring perkembangan jaman majalah cetak mulai banyak ditinggalkan oleh pembaca dan perlahan beralih ke format digital. Yang otomatis berimbas pada penurunan laba perusahaan.

Ini pula yang terjadi terhadap majalah Life. Peralihan ke versi digital memaksa Life untuk mengurangi sebagian besar karyawannya. Tak terkecuali Walter Mitty, meskipun dia sudah belasan tahun bekerja di sana.

Adam Scott berhasil memerankan tokoh Ted Hendricks yang menyebalkan dengan gaya kepemimpinan manajer muda berkuasa yang tidak benar-benar mengerti kondisi di perusahaan yang baru dia pegang.

Alih-alih mengerti esensi majalah Life, bahkan ketika Mitty menanyakan moto dari majalah tersebut, sang manager bingung harus menjawab apa. Dan dengan polosnya dia menjawab “I’m lovin it??”

Jika kita amati, kejadian serupa juga pernah terjadi pada salah satu maskapai penerbangan di Indonesia. Begitu pula dengan beberapa perusahaan-perusahaan besar di Indonesia lainnya.
Pola nya hampir mirip dengan cerita film di atas.

Masuknya manager-manager baru diiringi dengan perubahan-perubahan radikal yang ujung-ujungnya berimbas pada pengurangan karyawan besar-besaran.

Memang perubahan adalah keniscayaan. Namun perubahan dengan mengindahkan esensi utama dan tujuan awal berdirinya sebuah perusahaan menurut saya juga tidak tepat.

0 comments:

Post a Comment